Satwa seperti burung hantu mungkin
dipandang tidak berarti besar. Namun, bagi Royal
Golden Eagle (RGE), hewan
nokturnal ini punya arti besar. Berkat keberadaan mereka, praktik berkelanjutan
yang dicanangkan oleh RGE bisa berjalan dengan maksimal.
Bagaimana bisa begitu? Pendiri grup
Royal Golden Eagle, Sukanto Tanoto, telah mencanangkan prinsip yang dikenal
sebagai 5C. Pada intinya, ini adalah arahan supaya semua perusahaan di bawah
naungan RGE mampu memberi manfaat.
Mulanya nilai positif hanya
ditekankan kepada internal unit usaha, masyarakat sekitar, dan negara. Namun,
seiring waktu, Sukanto Tanoto melengkapinya dengan manfaat
terhadap iklim dan alam secara umum. Hal ini dirasa perlu mengingat pemanasan
global terus terjadi dan merusak keseimbangan alami.
Royal Golden Eagle merasa perlu ikut
membantu menjaga kelestarian alam. Pasalnya, mereka berkepentingan besar
terhadap keberadaan hasil bumi di Indonesia. Maklum saja, korporasi skala
internasional ini banyak memanfaatkan sumber daya alam negeri kita menjadi
produk bernilai tinggi yang bermanfaat bagi banyak pihak.
Lihat saja anak perusahaan grup yang
dulunya bernama Raja Garuda Mas ini.
Mereka beroperasi di berbagai bidang berbeda mulai dari pulp and paper, kelapa sawit, selulosa spesial, pengembangan
energi, hingga viscose staple fibre.
Semua itu berbasis sumber daya alam.
Namun, karena merupakan perusahaan skala internasional, produk-produk RGE harus
memenuhi standar dunia. Salah satu yang diwajibkan adalah proses produksi yang
bertanggung jawab dengan memerhatikan keberlanjutan.
Terkait hal tersebut, RGE berutang
jasa terhadap burung hantu. Satwa yang aktif pada malam hari ini membantu
praktik berkelanjutan di dalam korporasi yang mulai dirintis sejak 1973 ini
khususnya dalam industri kelapa sawit.
Perlu diketahui, untuk memproduksi
kelapa sawit, anak perusahaan Royal Golden Eagle memerlukan perkebunan sebagai
suplai bahan baku. Seperti lahan pertanian lain, ada hama yang mengganggu. Saah
satu yang sangat merepotkan adalah tikus.
Menurut Direktoral Jenderal
Perkebunan Kementerian Pertanian Indonesia, tikus merupakan perusak kelapa
sawit yang berbahaya. Binatang pengerat ini senang memakan pelepah sampai titik
tumbuh pada tanaman muda, bunga dan buah pada tanaman kelapa sawit yang
produktif. Spesies tikus yang sering melakukannya biasanya adalah tikus belukar
(Rattus tiomanicus), tikus ladang (Rattus
exulans), tikus sawah (Rattus
argentiventer) dan tikus rumah (Rattus
rattus diardii).
Dampak kerusakan yang ditimbulkan
tidak main-main. Seekor tikus belukar dapat menghabiskan sekitar 6 sampai 14
gram daging buah per hari dan membawa brondolan
kelapa sawit (buah lepas matang, Red.) ke dalam tumpukan pelepah sebanyak 30
sampai 40 kali lipat dari konsumsinya.
Jika populasi tikus dalam 1 hektar berkisar antara 183–537 ekor, maka
minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil
(CPO) yang hilang minimal antara 828–962 kg/ha/tahun. Itu pun tidak termasuk brondolan.
Bukan hanya itu, masih ada kerusakan
lain yang diakibatkan oleh tikus. Tandan buah yang luka akibat keratan tikus
dapat memacu peningkatan asam lemak bebas pada minyak sawit. Akibatnya, di daerah pengembangan baru perkebunan
kelapa sawit, problem tersebut dapat menimbulkan kematian tanaman muda hingga
20–30%.
PERLU PREDATOR ALAMI
Sedemikian parah kerusakan yang
ditimbulkan oleh tikus, Royal Golden Eagle perlu melakukan antisipasi. Namun,
karena grup yang dulu bernama Raja Garuda Mas ini selalu berupaya untuk menjaga
kelestarian alam, penanggulangan hama seperti tikus dengan bahan-bahan kimia
diminimalkan.
Pilihan akhirnya jatuh ke burung
hantu (Tyto alba). Mereka adalah
predator alami tikus dan dirasa sangat efektif dalam penanggulangannya. Direktoral Jenderal Perkebunan Kementerian
Pertanian Indonesia menyebutkan keberadaan burung hantu bisa membuat serangan
tikus berkurang sampai di titik lima persen. Lebih menarik lagi, biaya
melakukannya jauh lebih murah 50 persen dibanding pemakaian bahan kimia.
Kedua hal tersebut jelas sangat
menguntungkan. Terlebih lagi, untuk memasarkan produk kelapa sawit di seluruh
dunia butuh sertifikasi berkelanjutan. Ketika menggunakan bahan kimia dalam
pengelolaan perkebunan, maka sertifikat tersebut tidak akan bisa diperoleh.
Oleh karena itu, anak perusahaan
Royal Golden Eagle yang bergerak di bidang kelapa sawit seperti Asian Agri
segera memanfaatkan jasa burung hantu. Mereka dibiakkan di sekitar area
perkebunan untuk menanggulangi serangan hama tikus.
“Lingkup bisnis di Asian Agri tidak
bisa lepas dari interaksi dengan alam. Di tanah ini, bibit terbaik kelapa sawit
tumbuh dan berkembang untuk memberi manfaat kepada banyak orang. Kendati
demikian, kami harus tetap bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam
agar lahan ini tetap berada di kondisi terbaiknya, “ papar Diektur Asian Agri,
Freddy Wijaya.
Untuk melakukannya, perusahaan Royal
Golden Eagle membuat sejumlah kandang burung hantu di area perkebunan. Namun,
ada pengaturan jarak antarkandang. Pasalnya, burung hantu termasuk binatang
unik yang tidak senang berkoloni. Mereka sangat teritorial dalam artian tidak
senang hidup bersama-sama. Paling-paling hanya ada satu pasang burung hantu
dalam satu kandang.
Lingkup area burung hantu juga sangat
luas. Untuk setiap 20 hektare, hanya dibutuhkan dua ekor burung hantu. “Sebagai
predator alami, burung hantu sangat efektif dan dapat diandalkan untuk melawan
perkembangan tikus. Dalam satu malam, seekor burung hantu dapat memakan empat
ekor tikus,” kata Marpituah Saragih yang mengelola salah satu perkebunan anak
perusahaan RGE, Asian Agri, di Pangkalan Kerinci, Riau.
DITULARKAN KE MASYARAKAT
Royal Golden Eagle sudah menjalankan
praktik berkelanjutan. Mereka berkomitmen menjaga alam dengan meminimalkan
penggunaan bahan kimia dalam pemberantasan hama di perkebunannya. Namun, semua
itu akan sia-sia jika para mitra tidak
melakukan hal serupa.
Selama ini, perusahaan yang dulu
berawal dari nama Raja Garuda Mas ini selalu menjalin kerjasama dengan
masyarakat. Ada berbagai bentuknya, namun satu hal yang pasti, RGE meminta
mitranya ikut menjalankan praktik berkelanjutan.
Salah satunya dilakukan secara nyata
di KUD Subur Makmur yang ada di Desa
Tidar Kuranji, Maro Sebo Ilir, Batang Hari, Jambi sejak 2014. Mereka adalah petani plasma PT Inti Indosawit
Subur, perusahaan perkebunan di bawah grup Asian Agri yang merupakan anggota
Royal Golden Eagle.
Mereka melaksanakan program
Pengendalian Hama Terpadu. Caranya sama yakni memanfaatkan burung hantu untuk
menjadi predator alami hama tikus. Bahkan, burung hantu di sana juga kerap
memakan ular yang ternyata kerap merusak kelapa sawit.
Saat melakukannya, mereka mendapat
pelatihan dan dukungan dana dalam pembuatan kandang burung hantu. Dana yang
diambil dari premi penjualan minyak sawit lestari (premium sharing) yang dibagikan dari grup Asian Agri kepada petani
binaan.
"Penggunaan burung hantu di
perkebunan ini sudah tiga tahun. Kami sudah tidak memakai klerat (sejenis
pestisida, Red.) sejak lama. Untuk tahun ini, premium sharing difokuskan untuk pembuatan kandang burung
hantu," kata Rosul seperti dikutip Kompas.com.
Berkat langkah tersebut, KUD Subur
Makmur yang terdiri dari 560 kepala keluarga dan luas lahannya mencapai 1.200
hektare mengantungi Sustainable Palm Oil
Certification. Ini membuat mereka bisa menyuplai kelapa sawit ke Royal
Golden Eagle. Sebaliknya RGE pun dapat menjualnya ke pasar internasional karena
sudah memenuhi standar praktik berkelanjutan.
0 Komentar:
Posting Komentar
biasakan budaya komentar
thnks