Kamis, 24 Agustus 2017

Jasa Burung Hantu Dalam Praktik Berkelanjutan Di Tubuh RG

Source: Inside RGE

Satwa seperti burung hantu mungkin dipandang tidak berarti besar. Namun, bagi Royal Golden Eagle (RGE), hewan nokturnal ini punya arti besar. Berkat keberadaan mereka, praktik berkelanjutan yang dicanangkan oleh RGE bisa berjalan dengan maksimal.


Bagaimana bisa begitu? Pendiri grup Royal Golden Eagle, Sukanto Tanoto, telah mencanangkan prinsip yang dikenal sebagai 5C. Pada intinya, ini adalah arahan supaya semua perusahaan di bawah naungan RGE mampu memberi manfaat.

Mulanya nilai positif hanya ditekankan kepada internal unit usaha, masyarakat sekitar, dan negara. Namun, seiring waktu, Sukanto Tanoto melengkapinya dengan manfaat terhadap iklim dan alam secara umum. Hal ini dirasa perlu mengingat pemanasan global terus terjadi dan merusak keseimbangan alami.

Royal Golden Eagle merasa perlu ikut membantu menjaga kelestarian alam. Pasalnya, mereka berkepentingan besar terhadap keberadaan hasil bumi di Indonesia. Maklum saja, korporasi skala internasional ini banyak memanfaatkan sumber daya alam negeri kita menjadi produk bernilai tinggi yang bermanfaat bagi banyak pihak.

Lihat saja anak perusahaan grup yang dulunya bernama Raja Garuda Mas ini. Mereka beroperasi di berbagai bidang berbeda mulai dari pulp and paper, kelapa sawit, selulosa spesial, pengembangan energi, hingga viscose staple fibre.

Semua itu berbasis sumber daya alam. Namun, karena merupakan perusahaan skala internasional, produk-produk RGE harus memenuhi standar dunia. Salah satu yang diwajibkan adalah proses produksi yang bertanggung jawab dengan memerhatikan keberlanjutan.

Terkait hal tersebut, RGE berutang jasa terhadap burung hantu. Satwa yang aktif pada malam hari ini membantu praktik berkelanjutan di dalam korporasi yang mulai dirintis sejak 1973 ini khususnya dalam industri kelapa sawit.

Perlu diketahui, untuk memproduksi kelapa sawit, anak perusahaan Royal Golden Eagle memerlukan perkebunan sebagai suplai bahan baku. Seperti lahan pertanian lain, ada hama yang mengganggu. Saah satu yang sangat merepotkan adalah tikus.

Menurut Direktoral Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Indonesia, tikus merupakan perusak kelapa sawit yang berbahaya. Binatang pengerat ini senang memakan pelepah sampai titik tumbuh pada tanaman muda, bunga dan buah pada tanaman kelapa sawit yang produktif. Spesies tikus yang sering melakukannya biasanya adalah tikus belukar (Rattus tiomanicus), tikus ladang (Rattus exulans), tikus sawah (Rattus argentiventer) dan tikus rumah (Rattus rattus diardii).

Dampak kerusakan yang ditimbulkan tidak main-main. Seekor tikus belukar dapat menghabiskan sekitar 6 sampai 14 gram daging buah per hari dan membawa brondolan kelapa sawit (buah lepas matang, Red.) ke dalam tumpukan pelepah sebanyak 30 sampai 40 kali lipat dari konsumsinya.  Jika populasi tikus dalam 1 hektar berkisar antara 183–537 ekor, maka minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) yang hilang minimal antara 828–962 kg/ha/tahun. Itu pun tidak termasuk brondolan. 

Bukan hanya itu, masih ada kerusakan lain yang diakibatkan oleh tikus. Tandan buah yang luka akibat keratan tikus dapat memacu peningkatan asam lemak bebas pada minyak sawit.  Akibatnya, di daerah pengembangan baru perkebunan kelapa sawit, problem tersebut dapat menimbulkan kematian tanaman muda hingga 20–30%.

PERLU PREDATOR ALAMI
Source: Inside RGE

Sedemikian parah kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus, Royal Golden Eagle perlu melakukan antisipasi. Namun, karena grup yang dulu bernama Raja Garuda Mas ini selalu berupaya untuk menjaga kelestarian alam, penanggulangan hama seperti tikus dengan bahan-bahan kimia diminimalkan.

Pilihan akhirnya jatuh ke burung hantu (Tyto alba). Mereka adalah predator alami tikus dan dirasa sangat efektif dalam penanggulangannya.  Direktoral Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Indonesia menyebutkan keberadaan burung hantu bisa membuat serangan tikus berkurang sampai di titik lima persen. Lebih menarik lagi, biaya melakukannya jauh lebih murah 50 persen dibanding pemakaian bahan kimia.

Kedua hal tersebut jelas sangat menguntungkan. Terlebih lagi, untuk memasarkan produk kelapa sawit di seluruh dunia butuh sertifikasi berkelanjutan. Ketika menggunakan bahan kimia dalam pengelolaan perkebunan, maka sertifikat tersebut tidak akan bisa diperoleh.

Oleh karena itu, anak perusahaan Royal Golden Eagle yang bergerak di bidang kelapa sawit seperti Asian Agri segera memanfaatkan jasa burung hantu. Mereka dibiakkan di sekitar area perkebunan untuk menanggulangi serangan hama tikus.

“Lingkup bisnis di Asian Agri tidak bisa lepas dari interaksi dengan alam. Di tanah ini, bibit terbaik kelapa sawit tumbuh dan berkembang untuk memberi manfaat kepada banyak orang. Kendati demikian, kami harus tetap bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam agar lahan ini tetap berada di kondisi terbaiknya, “ papar Diektur Asian Agri, Freddy Wijaya.

Untuk melakukannya, perusahaan Royal Golden Eagle membuat sejumlah kandang burung hantu di area perkebunan. Namun, ada pengaturan jarak antarkandang. Pasalnya, burung hantu termasuk binatang unik yang tidak senang berkoloni. Mereka sangat teritorial dalam artian tidak senang hidup bersama-sama. Paling-paling hanya ada satu pasang burung hantu dalam satu kandang.
Lingkup area burung hantu juga sangat luas. Untuk setiap 20 hektare, hanya dibutuhkan dua ekor burung hantu. “Sebagai predator alami, burung hantu sangat efektif dan dapat diandalkan untuk melawan perkembangan tikus. Dalam satu malam, seekor burung hantu dapat memakan empat ekor tikus,” kata Marpituah Saragih yang mengelola salah satu perkebunan anak perusahaan RGE, Asian Agri, di Pangkalan Kerinci, Riau.

DITULARKAN KE MASYARAKAT

Source: Inside RGE
           
Royal Golden Eagle sudah menjalankan praktik berkelanjutan. Mereka berkomitmen menjaga alam dengan meminimalkan penggunaan bahan kimia dalam pemberantasan hama di perkebunannya. Namun, semua itu akan sia-sia jika para mitra tidak  melakukan hal serupa.

Selama ini, perusahaan yang dulu berawal dari nama Raja Garuda Mas ini selalu menjalin kerjasama dengan masyarakat. Ada berbagai bentuknya, namun satu hal yang pasti, RGE meminta mitranya ikut menjalankan praktik berkelanjutan.

Salah satunya dilakukan secara nyata di KUD Subur Makmur  yang ada di Desa Tidar Kuranji, Maro Sebo Ilir, Batang Hari, Jambi sejak 2014.  Mereka adalah petani plasma PT Inti Indosawit Subur, perusahaan perkebunan di bawah grup Asian Agri yang merupakan anggota Royal Golden Eagle.

Mereka melaksanakan program Pengendalian Hama Terpadu. Caranya sama yakni memanfaatkan burung hantu untuk menjadi predator alami hama tikus. Bahkan, burung hantu di sana juga kerap memakan ular yang ternyata kerap merusak kelapa sawit.

Saat melakukannya, mereka mendapat pelatihan dan dukungan dana dalam pembuatan kandang burung hantu. Dana yang diambil dari premi penjualan minyak sawit lestari (premium sharing) yang dibagikan dari grup Asian Agri kepada petani binaan.

"Penggunaan burung hantu di perkebunan ini sudah tiga tahun. Kami sudah tidak memakai klerat (sejenis pestisida, Red.) sejak lama. Untuk tahun ini, premium sharing difokuskan untuk pembuatan kandang burung hantu," kata Rosul  seperti dikutip Kompas.com.

Berkat langkah tersebut, KUD Subur Makmur yang terdiri dari 560 kepala keluarga dan luas lahannya mencapai 1.200 hektare mengantungi Sustainable Palm Oil Certification. Ini membuat mereka bisa menyuplai kelapa sawit ke Royal Golden Eagle. Sebaliknya RGE pun dapat menjualnya ke pasar internasional karena sudah memenuhi standar praktik berkelanjutan.


Semua berkat jasa burung hantu, satwa yang mungkin dianggap tidak berharga. Namun, tidak disangka, perannya sungguh besar bagi pelestarian alam yang selama ini konsiten dijalankan oleh Royal Golden Eagle.

0 Komentar:

Posting Komentar

biasakan budaya komentar
thnks